Monday, May 21, 2012

Dana APBD Rawan Diselewengkan untuk Biaya Kampanye

Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dinilai rawan digunakan untuk biaya kampanye calon kepala daerah petahana atau incumbent ataupun calon nonpetahana menghadapi pemilihan kepala daerah.

Petahana atau calon yang masih menjabat cenderung memanfaatkan pos-pos belanja APBD, terutama belanja hibah dan belanja bantuan sosial, untuk kampanye mereka.
Hal tersebut diutarakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Indonesia Budget Center (IBC) dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu (20/5/2012).
"Politisasi APBD rentan digunakan sebagai sumber daya politik. Jika kita melihat perspektif incumbent, memang tidak hanya sebagai kepala daerah, tetapi dia duduk sebagai wakil rakyat, dia menguasai, punya kekuasaan mengelola dana publik," kata peneliti IBC, Roy Salam.
Fenomena tersebut juga terjadi di DKI Jakarta. Berdasarkan catatan IBC, kata Roy, terjadi kecenderungan peningkatan alokasi APBD DKI Jakarta untuk belanja hibah dalam dua tahun terakhir.
Peningkatan tersebut, katanya, mencapai 215 persen. Pada 2010, dana APBD yang dianggarkan untuk hibah sebesar Rp 434 miliar, kemudian naik menjadi Rp 883 miliar tahun berikutnya, dan menjadi Rp 1,367 triliun pada 2012.
"Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah memang dana hibah untuk kepentingan menjawab kebutuhan ormas atau terkait dengan mobilisasi pemenangan calon tertentu, ini perlu ditelusuri lebih lanjut," ujar Roy.
Direktur IBC Arif Nur Alam menambahkan, potensi politisasi APBD tidak hanya cenderung dilakukan calon petahana. Hal tersebut juga mungkin dilakoni calon bukan petahana, seperti calon independen.
Politisasi APBD oleh calon nonpetahana, katanya, cenderung dilakukan melalui orang-orang yang masuk dalam tim sukses si calon.
"Pengadaan barang dan jasa di Jakarta meningkat signifikan akhir-akhir ini. Pengadaan barang dan jasa yang besar di jakarta itu bisa digunakan semua calon, termasuk calon perorangan," ungkapnya.
Bisa saja, kata Arif, pemenang proyek pengadaan di DKI Jakarta tersebut adalah perusahaan yang menjadi penyumbang dana bagi calon kepala daerah.
Atas fenomena penyimpangan ini, IBC meminta panitia pengawas pilkada untuk melakukan upaya yang progresif, inovatif, dan tidak hanya melakukan pendekatan prosedural dalam mengawasi pelaksanaan pilkada.
Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi diminta mengawasi proses pemilihan kepala daerah yang berpotensi korupsi dan indikasi tindak pidana pencucian uang tersebut.
 sumber





No comments: